Martin Manurung
a hrif="http://www.suarapembaruan.com/News/2006/03/22/Editor/edit02.htm">Suara Pembaruan, 22 Maret 2006.
PERNYATAAN mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang dimuat Pembaruan (13 Maret), perihal ketiadaan konsep pemerintah dalam bidang industri, sungguh tepat dalam menggambarkan situasi saat ini. Belum lama berselang, kita juga mendengar keluhan dari berbagai asosiasi industri yang mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki strategi industri yang jelas sehingga perekonomian dan pembangunan bergerak tanpa arah dan prioritas.
ui name='more'>Neoliberal
Kalangan pro-neoliberalisme mungkin melihat keprihatinan tersebut di atas berlebihan. Bagi kalangan ini, negara memang tidak seharusnya, atau jangan, berperan dalam mengarahkan pembangunan industri (industrial development). Apa sebab? Biarkan mekanisme pasar yang mengarahkan dan mengatur kebijakan industri. Kebijakan industri dari negara, apalagi proteksi, dipandang akan mendistorsi pasar dan alokasi sumber daya (resources), serta menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Apalagi, aparat pemerintah pun dinilai cenderung korup dan tidak cukup memiliki kompetensi. Kalau pun negara hendak menggunakan kebijakan industri, ia haruslah bersifat kebijakan umum (general industrial policy) dan tidak selektif (selective industrial policy) mengutamakan dan memberi dukungan pada salah satu sektor unggulan. Sebab, kebijakan ini, sekali lagi, dinilai akan mengganggu alokasi sumber daya dan menyebabkan inefisiensi.
Bukankah paradigma ini yang kini mendominasi arah kebijakan perekonomian dan pembangunan kita? Biarlah pembangunan industri semata-mata ditentukan oleh pasar. Membanjirnya barang-barang produksi China di Indonesia adalah salah satu konsekuensi dari mekanisme "pasar bebas". Hal itu disebabkan China dapat memproduksi dengan lebih efisien dari Indonesia, upah buruhnya murah, tak banyak lika-liku proteksi lingkungan, wajar saja produknya membanjiri pasar domestik Indonesia. Benarkah harus demikian?
"Menendang Tangga"
Sejarah negara-negara industri/maju saat ini justru menunjukkan pengalaman yang berbeda dengan kampanye "pasar bebas" yang kini mereka suarakan dengan lantang. Misalnya, Prancis, Austria, Norwegia dan Finlandia, pasca Perang Dunia II, menempuh kebijakan industrial yang selektif. Kebijakan ini meliputi perencanaan investasi, pengendalian negara atas transaksi keuangan, peran sentral badan-badan usaha milik negara (BUMN), berbagai proteksi perdagangan, dan subsidi industrial untuk memodernisasi perindustrian mereka dan bersaing (serta selanjutnya melampaui) negara-negara maju saat itu, di antaranya Inggris.
Bahkan, kampiun "pasar bebas" Amerika Serikat pun menjalankan kebijakan negara yang cukup sentral ketika ia masih berstatus "negara berkembang" dalam menghadapi kompetisi pasar bebas guna menantang dominasi Inggris di pasar global.
Stiglitz (2005) mencatat bahwa industri telekomunikasi pada awalnya di tahun 1842 dibentuk oleh negara.
Jalur telegraph pertama di Amerika Serikat, yang membentang antara Baltimore dan Washington, dibangun oleh negara. Teknologi internet pun, yang kini berperan besar dalam perekonomian global, diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat.
Industri-industri utama Amerika Serikat di abad ke-19, di antaranya industri agrikultur, mendapat sokongan penuh dari pemerintah Amerika Serikat, bahkan sampai saat ini. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan ekonomi yang dominan pada pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim perdagangan bebas.
Contoh lain, Inggris pada abad ke-16, menjalankan kebijakan industrial yang selektif dengan memberikan perlakuan istimewa dan proteksi terhadap industri wool yang menjadi andalannya (Chang 2001). Kebijakan industrial yang selektif ini akhirnya mengantarkan Inggris menjadi negara industri wool utama di dunia, dan baru pada abad ke-19, kebijakan proteksionistis itu mulai dilonggarkan dan Inggris mulai meliberalisasi pasarnya.
Berbagai contoh itu menunjukkan bahwa argumentasi "pasar bebas" sebagai satu-satunya jalan menuju industrialisasi-sebagaimana dipercayai oleh kaum neo- liberal-menjadi ahistoris. Tak Heran bila Ha-Joon Chang (2001), ekonom pembangunan dari Universitas Cambridge di Inggris, menyebutkan kampanye "pasar bebas" laksana "menendang tangga" (kicking away the ladder), agar negara-negara berkembang tak bisa memakai tangga itu untuk "mengejar" ketertinggalannya.
Mengapa Gagal?
Sejarah juga mencatat gagalnya kebijakan-kebijakan industri yang selektif di berbagai negara. Di antaranya, kebijakan industri selektif di Indonesia di era Orde Baru, ternyata tidak membawa kita pada akhir cerita yang sukses sebagaimana pengalaman negara-negara seperti disebut di atas.
Kegagalan kebijakan industri selektif lebih banyak disebabkan permasalahan pada implementasinya. Absennya mekanisme yang tepat dalam akuntabilitas, pengawasan kinerja dan manajemen, menjadi penyebab utama dari kegagalan tersebut. Alice Amsden (1989), profesor ekonomi-politik di Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang banyak meneliti perihal industrialisasi di Asia, mencatat bahwa keberhasilan kebijakan industri sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian target kinerja.
Ia mencontohkan, BUMN di Korea dan Jepang diharuskan membuktikan bahwa mereka memanfaatkan kebijakan suportif negara untuk meningkatkan produktifitas dan/atau ekspor. Jika mereka gagal membuktikan hal tersebut, maka dukungan negara pada periode berikutnya akan dihapuskan.
Kualitas dan kompetensi aparat pemerintah (birokrasi) pun sangat menentukan bagi keberhasilan kebijakan industri. Peningkatan kualitas dimaksud dilakukan melalui berbagai pelatihan, pembenahan sistem insentif dan reformasi birokrasi (bukan sekadar "debirokratisasi" yang ditujukan untuk memangkas peran pemerintah, melainkan memampukan mereka agar andal menjalankan tugas dan fungsi negara). Selain itu, satu hal yang krusial adalah implementasi demokrasi partisipatoris untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku aparat pemerintah.*
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana, School of Development Studies, University of East Anglia (Inggris)
Negara dan Kebijakan Industri
Update Wednesday, March 22, 2006 at 8:11 PM. by Informasi Terbaru 2013 Dalam topik Ekonomi Politik,Opini
Jangan Lupa:
Negara dan Kebijakan Industri Reviewed by Admin on Wednesday, March 22, 2006 Rating: 5
Negara dan Kebijakan Industri
Artikel ini diposting dari blog Informasi Terbaru 2013, Wednesday, March 22, 2006, at 8:11 PM dalam topik Ekonomi Politik, Opini dan permalink https://terbaruinformasi.blogspot.com/2006/03/negara-dan-kebijakan-industri_22.html. 55.Subscribe to:Post Comments (Atom)
10 Tulisan Terakhir
My Blog List
Blog Archive
-
▼
2006
(336)
-
▼
March
(63)
- Ya’ahowu: Untukmu Pemimpin [Baru] Kami
- Nias Masih Kurang Diperhatikan
- Gubsu Lantik F Laia SH MH Jadi Bupati Nias Selatan
- Tepat Setahun Gempa Bumi di Nias *TNI-US PACOM Sel...
- Angkatan Laut Australia Kunjungi Nias
- Aliansi Masyarakat Peduli Nias Bagi-bagi Bunga di ...
- Pengadilan Tinggi Sumut Putuskan "Gugatan" Soal Pi...
- Hari Ini Peringatan Setahun Gempa Nias
- BRR Diminta Kordinasi dengan Pemerintah untuk Veri...
- Hari Ini Masyarakat Pulau Nias Peringati 1 Tahun G...
- BRR Nias dan Setahun Gempa Nias: Quo Vadis?
- Setelah Setahun Gempa di Gunung Sitoli
- Hari Ini Indonesia Peringati Satu Tahun Paska Gemp...
- Memperingati Setahun Jatuhnya Helikopter Australia...
- Buruh Dalam Cengkeraman Globalisasi
- Silvester-Zemi Gugat Penghitungan KPUD
- Keresahan Rakyat, Populisme, dan Fondasi (Baru) Fa...
- Bupati Nias Akhirnya Diperiksa - Penyidik Belum Me...
- Negara dan Kebijakan Industri
- Mahasiswa Nias dan Nisel Harus Jadi Teladan, Mampu...
- Kepala Depot Pertamina Gunungsitoli : Pemerintah K...
- Veteran Pejuang Kemerdekaan Ikut Mendukung Pembent...
- Empat Tersangka Terkait Korupsi DAK dan DAU Diperiksa
- Periksa 'Cukong' Illegal Loging Di Nisel
- KontraS Desak Pemerintah Dirikan Perwakilan Komnas...
- Hasil Kelulusan CPNS 2005 Diumumkan Serentak 20 Ma...
- Gubsu Yakinkan Tidak akan Ada Etnik yang "Ditingga...
- Api dalam Sekam Pasca Pilkada Nias
- Anuardin Waruwu Korban Penganiayaan Mohon Perlindu...
- Pencairan Dana BOS dan BKM Tahap Kedua di Sumut Ak...
- Menendang Tangga Pembangunan
- Mengapa China?
- Binahati Belum Diperiksa Izin Presiden Sudah Diter...
- Pasangan Calon Bupati Nias Nomor Urut 3Gugat KPUD ...
- Pemilu Lokal di Kuba
- KPUD Nias Umumkan : Binahati-Temazaro Menangkan Pi...
- Hasil Pilkada Nias Ditetapkan
- Rapat DPRD-KPUD-Panwaslih Soal Pilkada Nias "Seru"...
- Korupsi di Daerah, Harus Dibersihkan
- Alternatif Globalisasi Neoliberal
- Belajar Dari Sandinista di Nikaragua (Bagian 3-Habis)
- Demo di KPUD Nias Rusuh, Seorang Polisi dan Wartaw...
- Pilkada di Nias Dinilai Curang
- Terkait Pelanggaran Pilkda, 4 Pasangan Calon ke DP...
- Ada Calon Gelar "Serangan Panjar" di Mandrehe dan ...
- Calon No5 Minta Penetapan Sesuai Jadwal, Warga Min...
- Binahati-Temazaro Menang Telak, Posisi Capai 19 Pe...
- Kontras Desak Pemerintah Rancang UU Perlindungan S...
- Penggunaan Dana Tsunami Rp1,2 Trilyun Belum Dipert...
- Sumut Tambah Empat Kakandepag
- Ratusan Warga Demo Panwaslih Dan KPUD Nias
- Sumut Dapat Alokasi DAna Rp656,1 Miliar untuk Peme...
- Hilmar Farid: Perjuangan Kelas Justru Semakin Heba...
- Hasil Suara Sementara Pilkadasung Nias Hari Kedua:...
- Pilkada Nias : Pasangan No 5 Sementara Unggul di 1...
- 9.579 Gizi Buruk di Nias Akan Dilakukan Pemberian ...
- Pemilihan Tertib dan Lancar
- Radio Republik Indonesia Gunungsitoli Siaran di Te...
- Hari Ini Pilkada Nias, Banyak Tidak Dapat Kartu Pe...
- Penyelenggaraan Ujian CPNS, Belajarlah dari Masa Lalu
- Hari ini, 182.218 Pelamar CPNS di Sumut "Bertarung...
- Hari ini 258.227 Warga Nias Jatuhkan Pilihan Kepad...
- Belanda Bantu Yayasan Faliera Bangun Sekolah Kejur...
-
▼
March
(63)
Tulis Komentar Kamu dibawah, pada Comment as: pilih Name/URL atau pilih Anonymous.
0 Komentar untuk "Negara dan Kebijakan Industri"Post a Comment