Hari Ini WIB

Api dalam Sekam Pasca Pilkada Nias

Update Saturday, March 18, 2006 at 11:36 AM. Dalam topik

By: Fotarisman Zaluchu

Proses Pilkada di Kabupaten Nias masih berlanjut dengan digugatnya KPUD Nias di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara oleh salah satu pasangan calon dan permintaan dibatalkannya Pilkada Nias, baik oleh sejumlah elemen masyarakat maupun oleh calon peserta pemilu tersebut.

Seperti kita ketahui, Pilkada di Kabupaten Nias telah diselenggarakan pada tanggal 28 Februari 2006 yang lalu. Satu hari sebelum pemungutan suara, KPUD masih belum membagikan kartu panggilan kepada para pemilih secara merata. Akibatnya secara psikologis, masyarakat enggan mendatangi TPS-TPS yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan cara demikian, hasil memang sudah dapat ditebak, pasti akan sangat menguntungkan. Terbukti pasangan incumbent Bupati Nias Binahati B Baeha beserta pasangannya Temazaro Harefa unggul dalam pemungutan suara yang berjalan tidak fairplay. Sontak, keempat calon lain, di hari berikutnya langsung menyatakan penolakannya dan meminta KPUD menghentikan proses pemungutan suara.

Karena secara legal hal ini memang tidak dimungkinkan, keempat calon tersebut kemudian beraudiensi ke DPRD Kabupaten Nias. Meski dipanggil dan dilakukan rapat dengar pendapat, KPUD Nias tetap menetapkan pasangan Binahati B Baeha-Temazaro Harefa sebagai pasangan pemenang Pilkada Nias, dengan perolehan suara 49.905 (27,94 persen), disusul oleh Sylvester Lase-Zemi Gulo sebanyak 44.244 (24,77 persen) Sokhiatulo Laoli-Sanuddin Zebua sebanyak 38.994 (21,83 persen), Arkian Zebua-Martin Luther Daeli sebanyak 27.791 (15,56 persen) dan Agus Mendrofa-Bastian Zebua sebanyak 15.557 (9,92 persen).


Analisis

Hasil konfigurasi perolehan suara ini sebenarnya menunjukkan kepada kita bahwa proses politik di Kabupaten Nias amat jauh dari memadai untuk disebut sebagai sebuah hasil Pilkada yang baik. Mengapa? Ada beberapa alasan yang kita sampaikan sebagaimana uraian dibawah ini.

Pertama, dengan jumlah pemilih sebanyak 178.645 ditambah dengan 4.282 suara tidak sah, padahal total pemilih terdaftar 258.227, berarti terdapat sebanyak 75.300 suara yang “hilang” dari haknya untuk menggunakan hak pilih. Itu berarti bahwa meski KPUD mengklaim Pilkada ini diikuti oleh sekitar 70 persen pemilih, itu bukan berarti Pilkada di Nias diterima secara politis. Bagaimanapun, rendahnya pencapaian itu bukan dikarenakan karena banyak warga yang tidak menggunakan hak pilihnya, namun karena terpaksa tidak memilih.

Kita sebut ini karena pasca bencana, proses sosialisasi Pilkada sangat lemah. Masyarakat, oleh KPUD tidak diberikan kesempatan untuk menerima semua penjelasan mengenai masa depannya sendiri melalui Pilkada. Akibatnya, daya tarik sebuah proses politik yang sangat menentukan masa depannya sendiri kemudian hilang, digantikan oleh keengganan menggunakan haknya, terlebih karena KPUD sendiri memang tidak bekerja maksimal mendistribusikan kartu panggilan untuk menggunakan hak pilih.

Kedua, hasil perolehan suara terhadap pasangan yang terpilih, yaitu Binahati B Baeha-Temazaro Harefa dengan perolehan suara yang diklaim sebanyak 49.905, justru kalah jauh dibandingkan dengan masyarakat yang tidak memilih (75.300 suara). Karena mengklaim didukung oleh 27,94 persen, perhitungan dengan menggunakan statistik yang tepat dengan penyebutnya adalah total pemilih terdaftar, memperlihatkan bahwa pasangan nomor urut ini justru hanya mendapatkan dukungan “politik” dari kurang 20 persen suara.

Secara real politik, pasangan ini kalah dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan berbasis pada mereka yang menggunakan hak pilih, mereka yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 29 persen suara, sementara “kemenangan” calon terpilih hanya didukung oleh 27,94 persen. Sementara jika berbasis pada total pemilih, mereka yang tidak menggunakan hak pilih menang telak sebesar 42 persen lebih dibandingkan dengan klaim kemenangan yang hanya 17 persen suara saja.

Seberapa besar dukungan masyarakat kepada pasangan terpilih tercermin dari fakta di atas. Artinya, jika pasangan Binahati B Baeha-Temazaro Harefa mengklaim kemenangan sebesar 27,94 persen maka lebih dari 70 persen masyarakat ternyata tidak memilih mereka berdua. Angka ini luar biasa besar dan menunjukkan bahwa dukungan politik terhadap kedua pasangan ini sangat lemah. Kemenangan mereka hanya “diuntungkan” dalam status Binahati B Baeha sebagai incumbent.

Inilah yang bisa menjadi api dalam sekam yang tidak mudah dipadamkan. Secara psiko-politik, kemenangan ini sebenarnya adalah sebuah pernyataan (deklarasi psikologis) bahwa masyarakat Nias amat lemah dukungannya kepada proses politik, dan mungkin juga kepada berbagai elit politik dan pejabat. Masyarakat memandang bahwa perubahan tidak akan terjadi, meski Pilkada diselenggarakan sekalipun. Bagi yang tidak memilih calon terpilih, kemenangan pasangan ini jelas juga akan menyebabkan rasa apatisme, namun jika dibarengi oleh sentimen politik bukan tidak mungkin akan menyebabkan hal-hal yang kontraproduktif.

Ketiga, dengan basis dukungan yang amat lemah hampir dapat dipastikan bahwa dalam pemerintahan kelak akan muncul berbagai skenario, sekiranya pasangan ini, setelah melewati proses juridiksi dan fatwa MA, ditetapkan sebagai pemenang, menguatkan penetapan dari KPUD. Yang pasti, kemungkinan besar akan muncul gerakan dari DPRD Kabupaten Nias dari parpol pengusung pasangan rival, yang intensitasnya tergantung pada komitmen mereka pada demokrasi dan kejujuran pada masyarakat Nias sendiri. Artinya, di lapangan, parlemen akan memandang pasangan terpilih ini dengan tidak berimbang, mengingat dukungan yang mereka peroleh terlalu kecil untuk disebut sebagai pasangan populis.

Skenario lain adalah bahwa akan terjadi share of power dengan mantan rival, yang intensitasnya juga tergantung kepada mantan rival tersebut. Namun sekedar diketahui bahwa ke-4 pasangan rival dari calon terpilih sudah pula berkomitmen untuk menggagas proses Pilkada yang lebih fairplay. Jika proses share of power berlangsung dengan profesional, maka mungkin dukungan kepada pasangan ini akan menguat beberapa waktu lagi. Namun jika tidak, kemungkinan akan muncul pembangkangan masyarakat sebagaimana pasca Pilkada Depok, maupun di berbagai wilayah lain di seluruh wilayah tanah air.


Ambivalen Demokrasi

Secara lebih luas, persoalan di atas adalah cermin dari perjalanan demokrasi kita. Tertatih namun tak pasti menuju arah mana. Proses demokrasi yang awalnya sangat baik ini sering sekali diisi oleh para pelaku, pelaksana, dan “peserta” demokrasi yang masih melembagakan cara-cara yang tidak sehat. Pilkada Papua misalnya, ribuan masyarakat justru sengaja tidak dipanggil untuk memilih. Ini merupakan masalah kita karena secara psikologis kita belum siap bertarung, politik secara sehat. Syahwat kekuasaan masih sangat erat dan kuat kita pegang.

Berikutnya, memang diperlukan sebuah aturan yang lebih independen dalam menggagas kedudukan KPUD dan Panwaslih. Kedua lembaga ini cenderung suka berkecimpung ke dalam proses kompetisi dibandingkan sebagai wasit. Semoga aturan mengenai KPU dan KPUD ini tidak terulang terus. Jika tidak, kedua lembaga ini akan menuai kecaman terus sehingga akan terus pula dicap sebagai trouble maker daripada trouble solver.

Yang lebih penting adalah bagaimana menggerakkan masyarakat supaya tetap mengawasi jalannya proses pemerintahan. Terlalu mudah menyerahkan sebuah pemerintahan dengan menganggap bahwa tanggung-jawab memilih hanya sampai ketika keluar dari TPS. Masyarakat Indonesia masih harus terus menerus diberdayakan supaya hak dan kewajiban politiknya bukan saja diberikan, namun bisa dituntutnya dengan sepenuh hati.

Pasca Pilkada Nias, pembenahan masih banyak. Trauma bencana masih terasa. Semoga trauma Pilkada Nias ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua, termasuk masyarakat Sumatera Utara yang juga akan mengalami proses politik yang serupa tapi tak sama. (Penulis, aktivis Care Nias Society/d)

Tulis Komentar Kamu dibawah, pada Comment as: pilih Name/URL atau pilih Anonymous.

0 Komentar untuk "Api dalam Sekam Pasca Pilkada Nias"

Post a Comment