Azas Tigor Nainggolan
MIRIS sekali kehidupan di kota Jakarta ini. Suatu sore, ketika melintasi jalan Sultan Agung (Jl Pasar Rumput) Jakarta Selatan, di salah satu jembatan yang menghubungkan Jl Sultan Agung Jakarta Selatan dengan Jl Malang Menteng Jakarta Pusat, saya melihat beberapa keluarga hidup di bawahnya. Mereka tinggal hanya beralaskan papan disusun untuk mendapatkan posisi seperti lantai di dasar jembatan, yang sebenarnya menggantung di atas sungai Ciliwung tersebut.
ui name='more'>Mengerikan sekali keadaan tempat tinggalnya. Sudah di bawah jembatan, menggantung pula posisinya di atas sungai. Salah bergerak saat tidur atau anak-anak mereka salah posisi bermain, bisa langsung tercebur ke sungai. Tanpa sadar saya menggeleng kepala, setelah membayangkan semua kejadian mengerikan yang mungkin akan dialami warga di kolong jembatan tersebut.
Sambil mengendarai sepeda motor, saya teringat kejadian sekitar 5 tahun lalu saat terjadi penggusuran di daerah Tanjung Duren Barat, Jakarta Barat. Sebagai korban gusuran, warga yang saat itu harus bertahan terpaksa membangun tenda seadanya. Padahal, banyak anak-anak yang masih berusia di bawah lima tahun dan bahkan, yang terkecil berusia sau bulan. Malang sekali hidup warga Jakarta yang miskin. Seperti dialami korban gusuran Tanjung Duren Barat dan warga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai di atas sungai Ciliwung, mereka adalah korban atau dikorbankan oleh pengelola kota. Juga terbayang di benak saya, kehidupan kawan-kawan warga yang karena miskin dan digusur, akhirnya terpaksa memilih tinggal di dalam komplek Kuburan Cina di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Kota macam apa Jakarta ini? Bisa-bisanya membiarkan warganya hidup dalam penderitaan luar biasa, merendahkan warganya seperti hewan? Ya, Jakarta telah menjadi kota yang tidak memiliki keadilan terhadap warganya sendiri. Hidup tidak layak, tergusur di negerinya oleh bangsanya sendiri. Kondisi ini menunjukkan, perjuangan mendapatkan hak atas tempat tinggal atau perumahan bagi warga Jakarta, khususnya bagi kaum miskin, bukan perkara gampang. Menyakitkan malah. Padahal, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1948 (Duham), dalam Pasal 25 ayat 1 menyatakan, "setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yag layak atas kesehatan dan kehidupan dirinya dan keluargannya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang dibutuhkan, dan hak untuk mendapat jaminan saat menganggur, sakit, cacat, janda, lanjut usia atau ketidakmampuan lain untuk melanjutkan kehidupan dalam situasi yang ada di luar kendalinya." Begitu pula dengan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 11 ayat (1) menyebutkan: “Negara-negara pihak konvenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidup secara berkesinambungan”.
Kesulitan hidup di kota Jakarta, membuat warga Jakarta yang miskin tidak memiliki kesempatan memilih tempat tinggal yang layak dan akhirnya penghidupan yang tidak manusiawi. Struktur pembangunan kota, keberpihakan dan kebijakan pengelola (pemerintah) kotalah, yang menyebabkan warga hidup miskin, bahkan dipermiskin secara sistematis. Pengelola kotanya tidak mengakui mereka sebagai warga, dan tidak diberi status kehidupan perdata seperti KTP atau surat-surat kependudukan lainnya. Otomatis mereka tidak mendapatkan pelayanan fasilitas publik seperti air bersih, kesehatan, subsidi perumahan publik, atau pendidikan. Mereka dibuat hidup dalam ketidakadilan dan kemelaratan, dikelilingi masalah kemiskinan seperti kelaparan dan gizi buruk.
Sementara itu pengelola kota, aparat Pemprov dan DPRD Jakarta, terus sibuk menghitung dan mengeruk, membuat proyek, menjual otoritas perizinan, mendekati pemodal dan mengkorupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), untuk dirinya. Misalnya saja, seorang kepala dinas Kebersihan Jakarta pada APBD 2008, dapat mengajukan proyek menyewa 50 truk pengangkut sampah senilai Rp 40 milyar. Luar biasa terbukanya korupsi di tubuh pemprov Jakarta, tapi sampai saat ini baru satu orang kepala dinas yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh KPK. Lucu sekali.
Penambahan pos-pos anggaran baru yang diajukan oleh anggota DPRD itu bisa dilihat misalnya saja pada:
Penambahan jumlah dari anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih besar oleh anggota DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
Pengurangan jumlah anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih kecil bahkan dihapus anggota DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
Selain itu juga anggota DPRD melakukan tindakan lucu lainnya. Menghapus anggaran refungsi SPBU untuk program pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang diusulkan Pemprov dan menggantinya dengan program penggusuran lahan warga. Awalnya untuk refungsi lahan SPBU dianggarakan sekitar Rp 280 juta dinaikkan menjadi sebesar Rp 320,207 milyar. Anggaran penambahan yang besar itu rupanya dilakukan untuk membatalkan refungsi SPBU proyek penggusuran baru terhadap warga. Jika benar anggota DPRD memiliki keberpihakan kepada warga, mengapa saat terjadi penggusuran pedagang di Jl Barito Jakarta Selatan dan di Jl Rawasari Jakarta Pusat, tidak mati-matian membela seperti mereka membela para pengusaha yang SPBU-nya akan direfungsi menjadi RTH?
Azas Tigor Nainggolan, adalah Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Penulis bisa dihubungi di email: azastigor@yahoo.com, blog: azastigornainggolan.com
Madu Hutan Murni - GRANULASI
10 years ago
Tulis Komentar Kamu dibawah, pada Comment as: pilih Name/URL atau pilih Anonymous.
0 Komentar untuk "Membangun Kota yang Berkeadilan"Post a Comment