Coen Husain Pontoh
Sejak gong reformasi ditabuh Deng Xiaoping pada 1978, ekonomi Cina bertumbuh secara fantastis. Lebih mencengangkan, pertumbuhan tinggi itu berlangsung relatif stabil. Laporan organisasi buruh internasional (International Labor Organization/ILO) pada 2005, menyebutkan, “antara 1990 dan 2002, tingkat pertumbuhan per kapita GDP sebesar 8.3 persen per tahun.”
Menurut Martin Hans-Lansdberg dan Paul Burkett, tingkat pertumbuhan yang sangat fenomenal itu, disebabkan oleh berlangsungnya revolusi industri di Cina, yang menjadikan Cina sebagai pabrik manufaktur terbesar di Asia, bahkan di dunia. Fakta ini pula yang menyebabkan Cina menjadi rujukan banyak kalangan sebagai model pembangunan bagi Dunia Ketiga.
Tetapi, apa sebenarnya yang terjadi di balik revolusi industri tersebut? Kembali mengutip Landsberg dan Burkett, disingkirkannya campur tangan negara dalam pasar sembari menempatkan kekuatan pasar di atas mekanisme perencanaan; diutamakannya produksi swasta di atas produksi negara; dan, diistimewakannya perusahaan asing di atas perusahaan domestik, merupakan peristiwa yang diabaikan oleh banyak pengamat masalah Cina. Padahal, keadaan di atas telah menyebabkan terjadinya dua konsekuensi: pertama, aktivitas ekonomi Cina menjadi sangat didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional; konsekuensi kedua, pertumbuhan ekonomi Cina menjadi sangat tergantung pada produksi barang untuk kepentingan ekspor. Saya akan coba mengelaborasi satu persatu kedua konsekuensi ini.
Di Kontrol Asing
Berbondong-bondongnya investasi asing masuk ke Cina, menurut Eva Cheng, analisis ekonomi-politik Cina yang berbasis di Australia, mengalami percepatan terutama pada paruh kedua dekade 1990an. Merujuk pada bukunya Martin Hans-Lansberg dan Paul Burket, “China and Socialism,” sejak tahun 1991 hingga kini, reformasi Cina telah memasuki tahapan yang ketiga. Pada tahapan ini, khususnya sejak akhir 1994, pemerintah Cina menggalakkan program privatisasi besar-besaran, di bawah payung slogan “grasp the big enliven the small (pegang yang besar, dukung yang kecil).”
Alasan utama di balik program ini, perusahaan swasta secara inheren jauh lebih efisien dibanding perusahaan milik negara. Sebabnya, perusahaan swasta beroperasi berdasarkan aktivitas menumpuk uang di pasar, sementara perusahaan publik beroperasi atas dasar kepentingan politik. Kompetisi dianggap menyebabkan para pemilik dan manajer harus bertindak rasional. Tentu saja kita mahfum, alasan ini diadopsi dari kalangan neoliberal.
Hasil dari proyek reformasi tahap ketiga ini, memang luar biasa. Cina muncul sebagai sebuah kekuatan ekonomi baru, dan merupakan negara berkembang yang paling besar menerima investasi asing. Sebagai contoh, jika pada 1985 investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) tahunan yang mengalir ke Cina hanya mncapai $1 miliar maka pada 2002, jumlah tersebut menembus angka lebih dari $50 miliar. Bahkan, ketika FDI bergerak lambat pada 2001 dan 2002, arus masuk investasi asing ke Cina tetap meluas. Menurut catatan presiden Cina, Hu Jintao, pemerintahnya telah menyetujui 590 ribu investasi perusahaan aisng dan telah memanfaatkan $700 miliar investasi asing dalam menggerakkan mesin perekonomiannya, sejak keterbukaan dimulai 29 tahun silam.
Dan sinilah soalnya, gemerlap lampu kota telah membuat banyak orang silau. Padahal, bersamaan dengan arus pasang investasi asing itu, dominasi kapital asing tak terelakkan. Sebuah studi dari Beijing’s Communication University, pada 2004 melaporkan, tiga perempat dari seluruh industri di Cina, dikuasai oleh kapital asing. Temuan ini diperkuat oleh laporan dari the State Council pada 2006, bahwa lima besar dari seluruh perusahaan terbesar di semua sektor industri, dikontrol oleh kapital asing. Selain itu, 21 dari 28 industri terpenting sebagian besar aset-asetnya dikontrol oleh kapital asing.
Secara sektoral, dalam pengertian shareholding, dominasi kapital asing makin tampak. Menurut studi tersebut, di sektor pertanian, peternakan dan perikanan, kapital asing mendominasi 82 persen; pertambangan, 67 persen; manufaktur 77 persen; listrik, bahan bakar gas, produksi dan penyaluran air, 56 persen; konstruksi, 66 persen; transportasi, pergudangan, dan pegiriman, 76 persen; telekomunikasi, kalkulator dan perangkat lunak, 77 persen; retail dan grosir, 77 persen; akomodasi dan restoran, 70 persen; keuangan 66 persen; perumahan, 78 persen; penyewaan dan pelayanan komersial, 81 persen; studi-studi keilmuan, pelayanan teknik, dan studi-studi geologi, 82 persen; pengairan, 66 persen; lingkungan dan manajemen infrastruktur publik, 66 persen; pelayanan bagi penduduk tetap dan pelayanan-pelayanan lainnya, 75 persen; pendidikan 64 persen; kesehatan publik, jaminan sosial, dan kesejahteraan sosial, 69 persen; fasilitas hiburan, olahraga, dan budaya, 78 persen; dan serbaneka industri lainnya, 88 persen.
Sementara dalam pengertian penguasaan pasar, dalam periode yang sama, di sektor komunikasi, kalkulator, dan industri yang berkaitan dengan elektronika, dominasi asing mencapai 82 persen; produk-produk instrumentasi, budaya, dan mesin kantor, 72 persen; topi, kaos kaki, dan ornamen-ornamen tekstil, 48 persen; industri kulit, bulu binatang, bulu ayam dan industri yang berhubungan, 49 persen; furnitur, 51 persen; produk-produk olah-raga dan pendidikan, 60 persen; industri plastik, 41 persen; dan pengadaan transportasi, 42 persen.
Tergantung Asing
Kuasa asing yang besar atas industri Cina, tampaknya berhubungan positif dengan pasar luar negeri. Lebih jelasnya, kontrol kepemilikan yang besar itu menyebabkan ekonomi Cina sangat terintegrasi sekaligus tergantung pada dinamika pasar internasional khususnya, pasar Amerika Serikat.
Sebagai contoh, sekitar 46 persen barang-barang manufaktur yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan asing ditujukan untuk ekspor. Bandingkan dengan produksi perusahaan domestik yang hanya mencapai 16 persen. Hasilnya, perusahaan –perusahaan asing mendominasi aktivitas ekspor Cina, dimana share-nya meningkat dari dua persen pada 1985 menjadi 30 persen pada 1995 dan 57 persen pada 2004. Akibat selanjutnya, rasio ekspor terhadap GDP meningkat dari 16 persen pada 1990 menjadi 30 persen pada 2003.
Ketergantungan yang besar terhadap perusahaan asing ini, bisa dilihat pada sektor barang-barang eletronik dan teknologi informasi. Sebagaimana diketahui, Cina dikenal sebagai produser dan eksportir terbesar barang-barang elektronik dan teknologi informasi. Diperkirakan, sektor ini menyumbang sebesar 28 persen dari total ekspor Cina. Menurut laporan organisasi kerjasama dan pembangunan (OECD) pada 2006, Cina kini telah melangkahi posisi AS sebagai penyuplai terbesar barang-barang teknologi informasi.
Tetapi, menurut Landsberg dan Burkett, angka-angka ini bisa membuat kita tersesat. Salah satu alasannya, demikian kedua ekonom ini mengatakan, produk-produk elektronik dan teknologi informasi yang menjadi andalan ekspor itu secara umum mengandung muatan teknologi yang sangat rendah. Sebagai contoh, ekspor teknologi tinggi Cina, adalah barang-barang elektronik, pengadaan kantor dan komputer, serta pengadaan alat-alat komunikasi. Di dalam kategori ini, produk andalan Cina adalah DVD players, komputer laptop, dan handphone.
Celakanya, produk-produk ini sangat tinggi muatan komponen impornya. Nilai tambah lokal dari nilai produk-produk ekspor ini, hanya mencapai 15 persen, sisanya adalan muatan impor. Dengan kata lain, ekspor produk teknologi tinggi Cina, sangat tergantung pada teknologi impor. Bagaimana ini bisa terjadi. Mari kita kembali ke soal kepemilikan.
Masih di sektor andalan Cina ini, data tahun 2003 menunjukkan, perusahaan investasi asing tercatat mendominasi hampir 90 persen ekspor komputer beserta komponen-komponennya, ditambah 75 persen ekspor pengadaan elektronik dan telekomunikasi. Lebih dari itu, sebagaimana direkam oleh kementrian informasi industri, dominasi asing di sektor industri informasi dan elektronik ini terus meningkat. Dari 58.7 persen pada 2000 menjadi 77.4 persen pada 2005. Dan pada dua bulan pertama tahun 2006, perusahaan asing bertanggung jawab atas 86.9 persen total ekspor produk-produk elektronik Cina. ***
Kepustakaan:
Eva Cheng, “China: Foreign capital controls three-quarters of industry,” http://www.greenleft.org.au/2007/710/36857, 23 May 2007.
Martin Hans-Landsberg and Paul Burkett, “China and Socialism Market Reforms and Class Struggle,” Monthly Review Press, NY, 2005.
-----, “China, Capitalist Accumulation, and Labor,” Monthly Review, Vol. 59 No. 1, May 2007.
Luan Shanglin, March 25 2007 , “Hu reassures foreign investors of more opportunities,” http://news.xinhuanet.com/english/2007-03/25/content_5895036.htm
Home / / Berburu Investasi, Kasus Cina
Berburu Investasi, Kasus Cina
Update Monday, June 11, 2007 at 12:14 PM. by Informasi Terbaru 2013 Dalam topik
Jangan Lupa:
Berburu Investasi, Kasus Cina Reviewed by Admin on Monday, June 11, 2007 Rating: 5
Berburu Investasi, Kasus Cina
Artikel ini diposting dari blog Informasi Terbaru 2013, Monday, June 11, 2007, at 12:14 PM dalam topik dan permalink https://terbaruinformasi.blogspot.com/2007/06/berburu-investasi-kasus-cina_11.html. 55.Subscribe to:Post Comments (Atom)
10 Tulisan Terakhir
Tulis Komentar Kamu dibawah, pada Comment as: pilih Name/URL atau pilih Anonymous.
0 Komentar untuk "Berburu Investasi, Kasus Cina"Post a Comment